Dua gambar di atas adalah cuplikan soal yang menyeret nama capres PDIP itu ke dalam situasi yang ga enak. Maklumlah politik, jadi rumit masalahnya. Beberapa hari ini, walhasil semua pihakĀ menyoroti Jokowi dengan berbagai pro kontra yang saling mencurigai.
Seperti kita tahu, anak SMA kelas 3 adalah pemilih baru alias pemula yang dengan kasus ini seakan-akan diberitahukan bahwa Jokowi adalah sosok yang pantas untuk dipilih nanti pada saat pemilihan presiden beberapa waktu yang akan datang. Jokowi ga suka dong dengan pernyataan-pernyataan yang seperti ini. Ini akan memberikan penilaian negatif buat kubunya dan bisa jadi menimbulkan kesan memanfaatkan pendidikan, terutama soal UN untuk kampanye. Bahkan, bukan tidak mungkin banyak pihak menduga, apa hubungannya si pembuat soal dan pencalonan Jokowi sebagai capres ?
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin, seperti ditulis Okezone.com, menudingĀ ada kelompok partisan yang sedang bermain di lingkungan Kemendikbud untuk kepentingan memenangkan calon tertentu dalam pilpres 2014 mendatang. Widih,Ā tak tanggung-tanggung, komentar pedasnya pada si pembuat soal : “Luar biasa jahatnya para pembuat soal itu. Demi mendukung seseorang mencapai puncak kekuasaan, lembaga pendidikanpun mereka korbankan”.
Saya ingin menggarisbawahi kalimat luar biasa jahatnya para pembuat soal ini, sepertinya terlalu berlebihan. Sekali lagi, orang-orang pembuat soal ini tidak jahat, mereka bertugas membuat soal. Maka selidikilah dulu sebelum membuat pernyataan yang menyakitkan seperti itu. Coba bayangkan kalau si pembuat soal ini hanyalah orang biasa yang memang kebagian harus mengcreate soal baru yang sesuai dengan perkembangan Indonesia saat ini. Lalu dinyatakan bersalah gara-gara ide “sialannya” itu, kasihan sekali beliau. Bisa jadi, ketika dia memunculkan nama Jokowi yang pada beberapa waktu lalupun sudah menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, yang terbayang di kepalanya adalah Jokowi itu tokoh. Lalu apakah itu salah ? Saya pikir tidak. Jokowi itu tokoh. Kalau yang ditulis nama saya kan tidak lucu. Belum ngetop. Beda lagi kalau yang dimunculkan adalah Soekarno, misalnya. Beliau juga tokoh. Tak ada yang salah. Kalau misalnya nama Soekarnopun ada, maka orang-orang tetap akan bicara dan mengaitkan pada masalah politik dan pencitraan terkait pemilihan umum belakangan ini. Jadi,Ā inti masalah adalah bukan pada siapa yang dimunculkan di soal, namun, ternyata pemunculan nama-nama terkait pemilu itulah yang lalu tidak pas karena dianggap bisa diinterpretasikan macam-macam. Tergantung cara pandang orang dan bagaimana dia memandang masalah tersebut.
Sebenarnya, memilih nama orang untuk dicantumkan ke dalam soal yang kita buat itu tidak ada aturan tertulisnya. Suka-suka guru saja. Saya belum pernah menemukan buku atau aturan manapun yang melarang penggunaan nama-nama orang dalam soal ujian. Maka, dengan maksud agar soalnya bisa diterima baik oleh siswa, saya dan banyak guru di Indonesia ini juga menggunakan berbagai nama orang. Kadang menuliskan nama artis Korea (gambar di bawah dicuplik langsung dari fbnya Mba Lea), artis Indonesian Idol, nama guru-guru satu sekolahan, nama siswa satu sekolahan dan sebagainya. Saya sendiri sering mempopulerkan nama anak-anak saya di soal-soal siswa.
Sesuaikan juga dengan konteks soal. Kalau soalnya tentang jual beli, agak tidak etis juga menuliskan nama pahlawan nasional. Misalnya : Teuku Cik Di Tiro membeli bakso di kantin. Pastilah nama yang diambil adalah nama-nama yang lebih ringan, misalnya Agus Prakoso (ketua kelas X A) membeli bakso di kantin.
Nah, tidak salah juga ketika si pembuat soal menuliskan tentang tokoh dan bagaimana tokoh itu menginspirasi dan bagaimana ingin menyamakan persepsi tentang inspirasi tersebut. Mungkin pada saat itu yang terpikirkan olehnya adalah Jokowi.