Seru-seruan Proses Mengamati

 

Kurikulum 2013 memuat langkah-langkah saintific dalam pembelajaran, seperti mengamati, menanya, menalar, mencoba, danĀ  mengomunikasikan.

Sering kali guru kehabisan ide untuk melakukan banyak hal dalam proses demi prosesnya. Seiring waktu berjalan, ternyata proses mengamati bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti pada gambar-gambar berikut :

1. Guru sudah menyiapkan board yang di dalamnya terdapat materi yang ingin diamati. Buatlah beberapa board yang berbeda dan siswa bisa “jalan-jalan” berkeliling melihat-lihat materi yang dimaksud.

2014-01-13 11.25.24

2014-01-13 11.25.29

2. Kalau siswa dan guru siap, biarkan siswa membuka smartphonenya atau laptop berinternet untuk mengamati tulisan atau gambar yang guru telah siapkan linknya sebelumnya. Hal ini untuk mempermudah siswa mencari sehingga mempersingkat waktu.

2014-01-06 14.57.17

3. Siswa bisa juga diberikan tayangan video pendek yang sudah disiapkan oleh guru.

2014-01-08 14.40.34

4. Berikan siswa artikel-artikel dari koran atau internet

 

2014-02-13 09.21.00

Nah, ternyata banyak ya variasi kegiatan “mengamati” itu. Yuk, tambahkan yang lain šŸ™‚

 

Memilih Nama-Nama Orang untuk Soal Ujian

 

 

 

Dua gambar di atas adalah cuplikan soal yang menyeret nama capres PDIP itu ke dalam situasi yang ga enak. Maklumlah politik, jadi rumit masalahnya. Beberapa hari ini, walhasil semua pihakĀ  menyoroti Jokowi dengan berbagai pro kontra yang saling mencurigai.

Seperti kita tahu, anak SMA kelas 3 adalah pemilih baru alias pemula yang dengan kasus ini seakan-akan diberitahukan bahwa Jokowi adalah sosok yang pantas untuk dipilih nanti pada saat pemilihan presiden beberapa waktu yang akan datang. Jokowi ga suka dong dengan pernyataan-pernyataan yang seperti ini. Ini akan memberikan penilaian negatif buat kubunya dan bisa jadi menimbulkan kesan memanfaatkan pendidikan, terutama soal UN untuk kampanye. Bahkan, bukan tidak mungkin banyak pihak menduga, apa hubungannya si pembuat soal dan pencalonan Jokowi sebagai capres ?

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin, seperti ditulis Okezone.com, menudingĀ  ada kelompok partisan yang sedang bermain di lingkungan Kemendikbud untuk kepentingan memenangkan calon tertentu dalam pilpres 2014 mendatang. Widih,Ā  tak tanggung-tanggung, komentar pedasnya pada si pembuat soal : “Luar biasa jahatnya para pembuat soal itu. Demi mendukung seseorang mencapai puncak kekuasaan, lembaga pendidikanpun mereka korbankan”.

Saya ingin menggarisbawahi kalimat luar biasa jahatnya para pembuat soal ini, sepertinya terlalu berlebihan. Sekali lagi, orang-orang pembuat soal ini tidak jahat, mereka bertugas membuat soal. Maka selidikilah dulu sebelum membuat pernyataan yang menyakitkan seperti itu. Coba bayangkan kalau si pembuat soal ini hanyalah orang biasa yang memang kebagian harus mengcreate soal baru yang sesuai dengan perkembangan Indonesia saat ini. Lalu dinyatakan bersalah gara-gara ide “sialannya” itu, kasihan sekali beliau. Bisa jadi, ketika dia memunculkan nama Jokowi yang pada beberapa waktu lalupun sudah menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, yang terbayang di kepalanya adalah Jokowi itu tokoh. Lalu apakah itu salah ? Saya pikir tidak. Jokowi itu tokoh. Kalau yang ditulis nama saya kan tidak lucu. Belum ngetop. Beda lagi kalau yang dimunculkan adalah Soekarno, misalnya. Beliau juga tokoh. Tak ada yang salah. Kalau misalnya nama Soekarnopun ada, maka orang-orang tetap akan bicara dan mengaitkan pada masalah politik dan pencitraan terkait pemilihan umum belakangan ini. Jadi,Ā  inti masalah adalah bukan pada siapa yang dimunculkan di soal, namun, ternyata pemunculan nama-nama terkait pemilu itulah yang lalu tidak pas karena dianggap bisa diinterpretasikan macam-macam. Tergantung cara pandang orang dan bagaimana dia memandang masalah tersebut.

Sebenarnya, memilih nama orang untuk dicantumkan ke dalam soal yang kita buat itu tidak ada aturan tertulisnya. Suka-suka guru saja. Saya belum pernah menemukan buku atau aturan manapun yang melarang penggunaan nama-nama orang dalam soal ujian. Maka, dengan maksud agar soalnya bisa diterima baik oleh siswa, saya dan banyak guru di Indonesia ini juga menggunakan berbagai nama orang. Kadang menuliskan nama artis Korea (gambar di bawah dicuplik langsung dari fbnya Mba Lea), artis Indonesian Idol, nama guru-guru satu sekolahan, nama siswa satu sekolahan dan sebagainya. Saya sendiri sering mempopulerkan nama anak-anak saya di soal-soal siswa.

Sesuaikan juga dengan konteks soal. Kalau soalnya tentang jual beli, agak tidak etis juga menuliskan nama pahlawan nasional. Misalnya : Teuku Cik Di Tiro membeli bakso di kantin. Pastilah nama yang diambil adalah nama-nama yang lebih ringan, misalnya Agus Prakoso (ketua kelas X A) membeli bakso di kantin.

Nah, tidak salah juga ketika si pembuat soal menuliskan tentang tokoh dan bagaimana tokoh itu menginspirasi dan bagaimana ingin menyamakan persepsi tentang inspirasi tersebut. Mungkin pada saat itu yang terpikirkan olehnya adalah Jokowi.

 

soal un

 

Soal UN 2014 Diakui Lebih Sulit

 

tweet un

Kok Pak Nuh ga bilang-bilang sebelumnya bahwa soal-soal Ujian Nasional itu juga untuk mengukur kemampuan standar internasional Pa? Pantesan saja, anak-anak “menjerit”… karena merasa soal-soalnya diciptakan untuk menghancurkan masa depannya.

Hampir semua guru bidang study yang diUNkan di sekolah saya juga mengakui tingkat kesulitan soal UN 2014 ini memang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, banyak prediksi model soal yang keluar sama sekali tidak sama dengan soal yang muncul. Ketika anak-anak mengeluh dengan tingkat yang sama, artinya yang terjadi di Bimbelpun kkurang lebih sama. Tidak mempersiapkan soal yang lebih sulit semodel yang tahun ini.

Pak Teuku Ramli Zakaria, dosen saya di UHAMKA, yang juga anggota BSNP mengatakan bahwa tahun depan bisa jadi tingkat kesulitan soal UN akan lebih sulit lagi karena adanya wacana menjadikan nilai UN sebagai salah satu komponen sebagai tes masuk PTN.

Kembali ke UN, saya jadi agak heran. UN itu kan ujian yang mengukur bagaimana pelaksanaan pembelajaran dan sekaligus kualitas pendidikan selama di SMA, jadi sifatnya evaluatif dan dia merupakan tes sumatif, yang mengukur keberhasilan pencapaian target pembelajaran selama SMA. Artinya, materi yang dikeluarkan adalah materi yang harus sama dengan yang dipelajari. Sedangkan kalau kita perhatikan soal sekelas SNMPTN, adalah soal yang dia kadang tidak dipelajari di sekolah. Jadi, bukan untuk evaluasi, namun untuk seleksi.