Di Kelas, Antara si Introvert dan si Extrovert

Saya sedang membaca buku Sila ke-6 : Kreatif sampai Mati karya Wahyu Aditya yang super sekali (meminjam istilahnya Pak Mario Teguh). Tibalah saya pada butir 9 dari sila ke-6 tersebut yang berjudul Introvert itu Cool!.

Di bagian ini, Wadit (begitulah Wahyu Aditya menggabungkan namanya. Hal serupa juga sering dilakukan siswa saya. Semisal Tisy Karni jadi Tiska, dan sebagainya) mengupas tentang sisi para introvert yang ternyata tidak boleh dipandang sebelah mata. Intovert kadang diartikan sebagai seorang yang pemalu dan pendiam. Tidak punya kemampuan yang tinggi dalam bersosialisasi dan lebih senang menyendiri.

Padahal, menurut Wadit yang juga sempat mengintip bukunya Susan Cain, The Power of Introverts in a World that Can’t Stop Talking, berbicara introvert bukan  berarti membicarakan tentang ketidakmampuan seseorang bersosialisasi. Bukan juga tentang sifat pemalunya. Ini perihal bagaimana seseorang merespon sebuah rangsangan atau stimulasi.

Hasil penelitian yang dilakukan Susan terkait fakta-fakta prestasi para introvert, justru pada saat-saat menyendiri inilah kaum introvert memiliki waktu untuk mengembangkan ide dan menghasilkan karya-karya besar. Susan sendiri adalah seorang introvert.

Contoh lain, Charles Darwin adalah satu tokoh yang lebih memilih berjalan kaki sendirian dibandingkan menghadiri undangan makan malam. Saya jadi teringat saya, yang sering memilih waktu sendiri untuk menulis atau melamun, mendulang ide-ide baru untuk mengajar, daripada harus mengobrol atau menghabiskan waktu  berjalan-jalan di mall dengan teman-teman. Sepertinya saya juga introvert.

Introvert bukan masalah kekurangan seseorang karena keinginannya menyendiri tersebut. Begitulah kira-kira yang ingin Wadit sampaikan. Beberapa pemuka agama seperti Buddha, Yesus, hingga Muhammad SAW, masing-masing pergi ke  alam liar dalam kesendiriannya untuk mendapatkan “jawaban”, tulis Wadit.

Nah, ini di sini inilah lalu permasalahan terlihat. Kesendirian lebih memiliki arti  dan bisa melahirkan karya-karya besar dibanding berkumpul dengan banyak orang. Sama sekali ini bukan masalah. Masalahnya adalah, guru-guru lebih sering meminta siswa bekerja dalam kelompok. Ini terlihat lebih memihak para ekstrovert. Bahwa semua siswa harus berada pada kompetensi memiliki kemampuan untuk bekerja sama atau bekerja dalam kelompok.Di satu sisi hal ini masuk akal karena semua siswa akan menjadi manusia sesungguhnya yang kelak di masa depannya mereka membutuhkan orang lain dalam bekerja dan mencapai tujuan. Jadilah, semua anak harus selalu dilibatkan dalam kelompok.

Silabus mata pelajaran tidak selalu mengatakan bahwa belajar harus dalam kelompok, namun memang belajar kelompok lebih praktis dan dinilai bisa memberikan manfaat yang lebih banyak dibanding kegiatan individu. Manfaat yang dirasakan lebih baik adalah terjalinnya keakraban di antara siswa satu dengan lainnya, siswa bisa melakukan pembelajaran tutor sebaya yang menurut penelitian banyak guru telah memberikan kontribusi dalam mendongkrak nilai dan pengetahuan siswa.  Gurupun lebih mudah mengontrol kegiatan belajar di kelas.

Di kelas, kejadian sesungguhnya, selalu para introvert akan tetap menarik diri dari keramaian kelompok dan dia tetap dengan style sebagai seorang penyendiri. Pernahkah guru juga mengamati betapa tersiksanya mereka jika selalu berada dalam kelompok ? Apalagi jika dalam kelompok tersebut siswa introvert harus berhadapan dengan teman-temannya yang sama-sama extrovert. Pasti kelompok akan hanya diramaikan oleh mereka yang senang berkumpul dan berbicara. Maka di bagian inilah si introvert tidak lebih disukai untuk jadi rekan satu kelompok dibandingkan teman-teman sesama extrovert. Tidak lebih keren jika isi kelompok kebetulan adalah introvert semua. Kelompok jadi sangat sepi. Ini berarti guru harus memiliki cara-cara tersendiri untuk memadukan isi kelompok agar harmonis dan berjalan lancar jaya dengan isi yang seimbang antara si “in” dan si “ex”.

Tidak adil ya kalau ternyata si introvert selalu merasa tidak senang belajar karena gurunya lupa bahwa mereka butuh kesendirian.  Nah, untuk menyeimbangkan kegiatan yang bisa menyenangkan hati si “ex” dan si “in” ini, guru harus peka menyiapkan rencana pembelajaran yang menyeimbangkan kegiatan diantara keduanya. Bolehlah siswa belajar dalam kelompok, tapi sekali waktu gantilah menjadi kegiatan yang lebih pro “in”. Kegiatan individual yang memungkinkan mereka mengembangkan idenya sendiri. Misalnya, minta mereka membuat mind map sendiri sebagai tugas individu atau, setelah bekerja dalam kelompok, mintalah siswa membuat resumenya sendiri-sendiri, dan seterusnya disesuaikan dengan indicator yang diharapkan muncul.

Intinya, introvert dan extrovert bukan sebuah masalah jika guru ingat bahwa mereka pribadi yang sama-sama berharga. Bukan kewajiban guru menjadikan si introvert berubah menjadi extropert  atau sebaliknya. Guru hanya memfasilitasi keduanya untuk bisa belajar dengan caranya masing-masing dan memaksimalkan kegiatan belajarnya dengan perbedaan yang mereka miliki.  Anak pendiam bukan kekurangan, begitupun anak-anak yang pecicilan kesana kemari dan berisik.  Tugas guru memperkenalkan bagaimana kenyataan bekerja. Bahwa seseorang  tidak bisa hidup sendiri dan bahwa seseorang butuh kesendirian

Your message